Dari kecil, tiap orang sebenarnya udah memikirkan yang namanya "Cita-Cita". Tak terkeculi dengan diriku. Klo dikenang kembali, rasanya mau ketawa sekeras-kerasnya. Soalnya, kalo sampek aja cita-cita tersebut tercapai di masa sekarang, aneh ngeliatnya. Gini lho ceritaya,,...
Yang namanya juga masi kecil, masi di tingkatan Sekolah Dasar, kalo ditanya guru apa cita-cita, pasti jawabnya ngasal atopun liat dulu kerjaan apa yang ada pada waktu itu yang sekiranya layak dijadikan cita-cita ya kan. Nah, kebetulan pulak pas pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas tentang cita-cita, guruku ini nanya ke satu persatu diantara kami yang ada diruangan kelas, Apa Cita-citamu??? Ada yang jawab, jadi dokter, jadi guru, jadi ustad, jadi supir, yang penting macam-macam lah. Tiba giliran awak, ditanyalah sama gurunya, "Cita-citamu apa Yah?". Bingung lah pulak jawabnya ya kan. Soalnya yang keren-kerennya dah dijawab cuy ama teman-teman. Dan memang gak kepikiran untuk jawab yang lain karena jawaban tidak boleh sama. "Apa ya pak?", Jawabku pertama kepada Bapaknya. "Ya Apa???", sambung bapaknya. Beliau cuma kasih waktu 10 detik. Klo gak jawab, disuruhnya berdiri di atas kursi. Gengsi lah awak. Ketua kelas coy,,,langganan juara kelas lagi. Nah, beberapa detik kemudian, kedengaran lah suara, "huorrrrr...r" dari atas pertanda pesawat mau lewat. Alhamdulillah, selamat. Dan langsung kujawab gak pake lama, "Jadi Pilot pak". Diseletuklah ama bapaknya, " Ah, karna baru lewat aja nya itu, klo gak gak bisa jawab nya ko. Ho..oh, tapi gak papalah".
Klo di SD bercita-cita jadi seorang pilot, beda ceritanya dengan masa Tsanawiyah yang lokasinya di Pesantren Darularafah. Bukannya sombong, tapi agak sedikit angkuh, klo dulu di pondok, aku itu adalah andalan dari beberapa guru yang ngajar selama Tsanawiyah dengan pelajarannya yang berbeda beda. Guru yang paling mengandalkanku adalah guru Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Tafsir, dll yang berkatan dengan Lughoh Arobiyyah.Tapi, kita gak kalah juga men di matematika n fisika. Karna sangkin banyaknya ustad yang mengandalkan seorang Yahya Batubara tersebut lah, makanya kepikiran sempat mau jadi ustad dan merubah cita-cita jadi seorang Ustad. hahaha, gak konsisten. Apalagi kurangnya coba, ilmu ada, tampang lumayan(ckckck) dan yang paling penting, keluarga mendukung. Sempat jadi, gak sia sia laaah.
Tapi, seiring dengan bertambahnya waktu dan umur pun semakin menua, datanglah masa dewasa. Masa yang akan menentukan kemana arah hidup yang sebenarnya. Masa dimana kita akan menentukan kemana kita akan melangkah ke depan. Oleh karena itu, akhirnya aku juga lebih matang dalam merancang cita-cita. Dan dimasa Aliyahlah timbul masa dewasaku.
Dulu, semasa Tsnawiyah, aku termasuk salah seorang yang timbangan badannya lumayan berat. Alias agak gendut(gitu aja pusing). Nah, karena udah dewasa, malu dikit lah ama badan gendut ya kan. Gak ada pulak nanti cewek yang mau. hahhaa. Dari sini lah aku sering merawat ke idealan badan. Bukan dengan diet, tapi dengan seringnya berolahraga. Tiap sore, selalu aku sempatkan bermain sepak bola dengan teman-teman. Berlari-lari akhirnya jadi hobiku. Proses itulah yang akhirnya membakar lemak-lemak yang banyak yang ada di perutku. Lomba lari, Maraton, Jogging, Sepak Bola, Volly, Bulutangkis, Takraw adalah permainan yang selalu bergantian aku mainkan. Tak kenal lelah mumpung masih muda. Dan akhirnya inilah ceritanya.
Waktu kelas 3 aliyah, ada pulak seleksi jadi seorang tentara. Ikut lah pulak ya kan. Karna kupikir, masi ada peluang. Apalagi testingnya gak berat-berat amat katanya. Nah, setelah mendaftar, mulailah test fisik. Banyak kali oiy test nya. Mulai dari jogging, push up, restok, dll yang standartnya ditentukan mereka. Alhamdulillah, usahaku selama 3 tahun sebelumnya terasa gak sia-sia. Test fisik yang telah ditentukan telah kujalani semua dan sinyatakan lulus untuk test tersebut. Dari sinilah akhirnya cita-citaku berganti lagi. Aku akan jadi Tentara, dalam benakku. Tapi, ini masi test awal, akan nyusul test-test selanjutnya di hari yang akan datang.
Banyak juga teman-temanku yang lulus dari test fisik. Nah, test selanjurnya adalah yang semacam persyaratan umum. Baik itu tinggi mimimum, bebas cacat, bebas buta warna, bebas narkoba, bebas HIV, dan lain-lainnya. Test ini lah yang akhirnya membuat cita-citaku melayang jauh lagi. Ini adalah suatu ketidakadilan. Aku dinyatakan kurang tinggi dengan kata lain aku terlalu pendek untuk ukuran seorang tentara. Padahal salah seorang teman yang klo diukur2 tinggian aku 2cm dari pada dia dinyatakan lulus. Koq bisa? Nyesal kali lah aku. Kenapa mesti hal ini terjadi padaku? Akhirnya setelah kutanya lagi pada salah seorang petugasnya di Medan pada waktu yang lain, aku pun sadar. "Bang, kenapa dulu di testing umum aku dinyatakan gak lulus gara-gara kurang tinggi padahal temanku yang lebih pendek bisa lulus?", tanyaku. "Kau bodoh kali, sebenarnya bisa aja nya ko lulus itu", katanya. Lho, ko bisa pulak ya kan? tanyaku dalam hati. "Serius lah bang?. Udah kuterima koq aku gak lulus karna kurang tinggi. Aku cuma mau nanya kenapa temanku tadi bisa lulus, jelas2 dia lebih pendek". "Ada gak ko melakukan suatu apa kek setelah kau dinyatakan gak lulus", tanyanya balik. "Maksudnya bang?", tanyaku lagi. "Masa gitu aja gak ngerti?". "Sumpah bang, aku gak ngerti", tegasku. "Makanya, klo yang kurangmu cuma masalah kurang tinggi, gampang kali itu. Kau cukup ambil duit ribuan yang banyak, terus kau tumpuk, dan kalo bisa kau ikat biar tumpukannya gak pisah pisah. Buat 2 tumpukan. Nah, setelah itu kan gampang, kau tinggal melapor lagi sambil bawa duit tumpukan tadi. Kau nanti melapor sambil nginjak duit tumpukan itu. Otomatis tinggimu kan akan semakin naik", terangnya. Pusing aku 7 keliling. "Udah ngerti kan kau?", tanyanya lagi. "Ngerti kali aku bang, ke' gitu rupanya", tegasku. "Ya, udah lah bang, makasi ya atas penjelasannya", ungkapku lagi....
Selama perjalanan kembali ke rumah, aku pun sadar bahwasanya jadi tentara pada waktu itu belum diridhoi-Nya. Yang penting, aku tidak akan nyogok. Masi banyak jalan yang benar demi suatu cita-cita. Aku harus cari jalan yang benar melalui jalan yang lain, atau bisa aja kali ini waktu yang tertunda bagiku. Mana tau nanti ada kesempatan lagi. Pasti ada hikmahnya ya kan??? Yang lalu biarkan berlalu, buka lembaran di kertas baru. You will never walk alone....hmmmm
Klo di SD bercita-cita jadi seorang pilot, beda ceritanya dengan masa Tsanawiyah yang lokasinya di Pesantren Darularafah. Bukannya sombong, tapi agak sedikit angkuh, klo dulu di pondok, aku itu adalah andalan dari beberapa guru yang ngajar selama Tsanawiyah dengan pelajarannya yang berbeda beda. Guru yang paling mengandalkanku adalah guru Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Tafsir, dll yang berkatan dengan Lughoh Arobiyyah.Tapi, kita gak kalah juga men di matematika n fisika. Karna sangkin banyaknya ustad yang mengandalkan seorang Yahya Batubara tersebut lah, makanya kepikiran sempat mau jadi ustad dan merubah cita-cita jadi seorang Ustad. hahaha, gak konsisten. Apalagi kurangnya coba, ilmu ada, tampang lumayan(ckckck) dan yang paling penting, keluarga mendukung. Sempat jadi, gak sia sia laaah.
Tapi, seiring dengan bertambahnya waktu dan umur pun semakin menua, datanglah masa dewasa. Masa yang akan menentukan kemana arah hidup yang sebenarnya. Masa dimana kita akan menentukan kemana kita akan melangkah ke depan. Oleh karena itu, akhirnya aku juga lebih matang dalam merancang cita-cita. Dan dimasa Aliyahlah timbul masa dewasaku.
Dulu, semasa Tsnawiyah, aku termasuk salah seorang yang timbangan badannya lumayan berat. Alias agak gendut(gitu aja pusing). Nah, karena udah dewasa, malu dikit lah ama badan gendut ya kan. Gak ada pulak nanti cewek yang mau. hahhaa. Dari sini lah aku sering merawat ke idealan badan. Bukan dengan diet, tapi dengan seringnya berolahraga. Tiap sore, selalu aku sempatkan bermain sepak bola dengan teman-teman. Berlari-lari akhirnya jadi hobiku. Proses itulah yang akhirnya membakar lemak-lemak yang banyak yang ada di perutku. Lomba lari, Maraton, Jogging, Sepak Bola, Volly, Bulutangkis, Takraw adalah permainan yang selalu bergantian aku mainkan. Tak kenal lelah mumpung masih muda. Dan akhirnya inilah ceritanya.
Waktu kelas 3 aliyah, ada pulak seleksi jadi seorang tentara. Ikut lah pulak ya kan. Karna kupikir, masi ada peluang. Apalagi testingnya gak berat-berat amat katanya. Nah, setelah mendaftar, mulailah test fisik. Banyak kali oiy test nya. Mulai dari jogging, push up, restok, dll yang standartnya ditentukan mereka. Alhamdulillah, usahaku selama 3 tahun sebelumnya terasa gak sia-sia. Test fisik yang telah ditentukan telah kujalani semua dan sinyatakan lulus untuk test tersebut. Dari sinilah akhirnya cita-citaku berganti lagi. Aku akan jadi Tentara, dalam benakku. Tapi, ini masi test awal, akan nyusul test-test selanjutnya di hari yang akan datang.
Banyak juga teman-temanku yang lulus dari test fisik. Nah, test selanjurnya adalah yang semacam persyaratan umum. Baik itu tinggi mimimum, bebas cacat, bebas buta warna, bebas narkoba, bebas HIV, dan lain-lainnya. Test ini lah yang akhirnya membuat cita-citaku melayang jauh lagi. Ini adalah suatu ketidakadilan. Aku dinyatakan kurang tinggi dengan kata lain aku terlalu pendek untuk ukuran seorang tentara. Padahal salah seorang teman yang klo diukur2 tinggian aku 2cm dari pada dia dinyatakan lulus. Koq bisa? Nyesal kali lah aku. Kenapa mesti hal ini terjadi padaku? Akhirnya setelah kutanya lagi pada salah seorang petugasnya di Medan pada waktu yang lain, aku pun sadar. "Bang, kenapa dulu di testing umum aku dinyatakan gak lulus gara-gara kurang tinggi padahal temanku yang lebih pendek bisa lulus?", tanyaku. "Kau bodoh kali, sebenarnya bisa aja nya ko lulus itu", katanya. Lho, ko bisa pulak ya kan? tanyaku dalam hati. "Serius lah bang?. Udah kuterima koq aku gak lulus karna kurang tinggi. Aku cuma mau nanya kenapa temanku tadi bisa lulus, jelas2 dia lebih pendek". "Ada gak ko melakukan suatu apa kek setelah kau dinyatakan gak lulus", tanyanya balik. "Maksudnya bang?", tanyaku lagi. "Masa gitu aja gak ngerti?". "Sumpah bang, aku gak ngerti", tegasku. "Makanya, klo yang kurangmu cuma masalah kurang tinggi, gampang kali itu. Kau cukup ambil duit ribuan yang banyak, terus kau tumpuk, dan kalo bisa kau ikat biar tumpukannya gak pisah pisah. Buat 2 tumpukan. Nah, setelah itu kan gampang, kau tinggal melapor lagi sambil bawa duit tumpukan tadi. Kau nanti melapor sambil nginjak duit tumpukan itu. Otomatis tinggimu kan akan semakin naik", terangnya. Pusing aku 7 keliling. "Udah ngerti kan kau?", tanyanya lagi. "Ngerti kali aku bang, ke' gitu rupanya", tegasku. "Ya, udah lah bang, makasi ya atas penjelasannya", ungkapku lagi....
Selama perjalanan kembali ke rumah, aku pun sadar bahwasanya jadi tentara pada waktu itu belum diridhoi-Nya. Yang penting, aku tidak akan nyogok. Masi banyak jalan yang benar demi suatu cita-cita. Aku harus cari jalan yang benar melalui jalan yang lain, atau bisa aja kali ini waktu yang tertunda bagiku. Mana tau nanti ada kesempatan lagi. Pasti ada hikmahnya ya kan??? Yang lalu biarkan berlalu, buka lembaran di kertas baru. You will never walk alone....hmmmm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar